Tuesday, 9 March 2010

Entrepreneur: Meraih Kemenangan di Tengah Cibiran Alam Semesta

Entrepreneur: Meraih Kemenangan di Tengah Cibiran Alam Semesta

Oleh: JOI Ihalauw
Staf Pengajar UPH Business School


Judul ini adalah secuil pesan Claude Hopkins kepada anaknya, yang menggambarkan perjalanannya menjadi seorang sukses. Seorang entrepreneur berani bertindak berbeda, kokoh dalam keyakinan saat melihat peluang, bahkan jika harus melawan arus sekalipun.

Media membeberkan fakta jumlah entrepreneur di Indonesia hanya 400.000 dari jumlah kebutuhan 4,4 juta orang. Kita tersentak. Kalau saja bisa mencapai 2% dari jumlah penduduk, Indonesia pasti lebih maju. Amerika Serikat memiliki entrepreneur 11% dari jumlah penduduknya.

Kao (John J. Kao) menunjukan empat komponen saat menelisik fenomena kewirausahaan: insan kreatif yaitu entrepreneur, tugas kreatif, konteks organisasi, dan tantangan lingkungan sekitar. Tulisan ini hanya sekelumit tentang insan kreatif, yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir strategis seorang entrepreneur pemula.

Harus diakui, tindakan terencana dan serius untuk membentuk entrepreneur pemula Indonesia baru tampak dalam satu dekade terakhir. Beberapa perguruan tinggi menyelenggarakan program studi kewirausahaan. Bank-bank ikut berkiprah melalui progran CSR. Semisal Bank Mandiri, yang telah mendidik 9.900 mahasiswa untuk menjadi entrepreneur, tapi 3.000 saja yang lolos tempaan.

Kao mengatakan, konsep entrepreneurship berarti tindakan cipta-nilai melaui pengenalan peluang-peluang bisnis, pengelolaan kesediaan memikul resiko sepadan dengan peluang itu, serta mahir komunikasi dan manajemen pengerahan sumber daya manusia, finansial, dan material yang diperlukan, sehingga proyek yang dikerjakan membuahkan hasil.

Kao memberi penekakanan pada kemampuan mencipta nilai. Jika nilai untuk pelanggan dipahami sebagai perbandingan atara manfaat dengan biaya, maka sejak dini, entrepreneur harus tahu bahwa manfaat selalu berubah, sebab keinginan (manfaat yang dicari) pembeli di pasar pun dinamis. Jadi, entrepreneur harus cerdik menyikapi kecenderungan keinginan dan mampu mencipta manfaat baru untuk ditawarkan ke pasar.

Berkiprah sebagai entrepreneur mengharuskan ia untuk selalu berpijak pada realitas, menginderai kesenjangan antara manfaat dicari (keinginan) dan manfaat aktual (dalam produk) yang ditawarkan ke pasar. Boleh jadi kesenjangan antara manfaat yang dicari dengan manfaat aktual itu pada awalnya secercah peluang saja. Waktu jualah yang menjawab apakah kelak secercah peluang itu sesungguhnya sesuatu yang besar dan menguntungkan.

Mejalani waktu inilah yang sering membimbangkan entrepreneur pemula. Keraguannya diperbesar oleh rasa takut rugi, tidak punya cukup modal untuk bisa bertahan lebih lama, usia beranjak naik sedangkan hasil belum kelihatan, tidak berpengalaman, dan persaingan ketat. Ada juga mitos bahwa kelompok etnis tertentu saja yang bisa menjadi entrepreneur.

Sejatinya untuk menjadi entrepreneur, seseorang harus bertindah, bertindak, dan terus bertindak untuk menciptakan nilai! Hal ini dikukuhkan oleh hasil penelitian Shefsky pada 1994 terhadap 200 entrepreneur, sehingga ia menyimpulkan: entrepreneur are made, not born!

Kemampuan berpikir strategis adalah salah satu modal entrepreneur pemula. Ohmae (Kenichi Ohmae) menunjukan 3R penting dari seni pikir strategik: Pertama, Reality; entrepreneur harus membiasakan menjelajah lanskap abad ke-21, mengamati kenyataan dan kecendurangan pasar, industri dan lingkungan makro. Mereka perlu peka terhadap tantangan dari perubahan yang sedang terjadi.

Coba kita simak, Etnis Tionghoa secara budaya terbiasa memandang tantangan atau krisis (wei cie) sebagai ancaman (wei sien) sekaligus peluang (cie hue). Ketika dihadapkan dengan wei cie, secara simultan wei sien dan cie hue. Dunia belum kiamat, ada kesempatan! Ini kemampuan berpikir kreatif memandang setiap ancaman sebagai peluang yang tertunda; memuntir ancaman menjadi peluang baru.

Kedua, Ripeness atau timing, tepat saat dalam mengidentifikasi dan menggarap peluang. Tidah heran jika kita sering mendengar bahwa opportunity never knocks twice, atau "dia hoki banget". Bukan tanpa dasar ketika Ries dan Trout mengatakan bahwa timing adalah Himalaya-nya strategi. Jadi, entrepreneur pemula perlu mengasah diri dalam mengenali dan menggunakan strategic window, yaitu limited periods during which the fit between the requirements oh the firm is at an optimum.

Yang terakhir, Resources. Entrepreneur pemula harus mampu mengerahkan sumberdayanya yang terbatas untuk menciptakan nilai. Sering kita terjebak dalam kebiasaan berpikir bahwa kelimpahan sumberdayalah yang paling penting. Fakta menunjukan, bukan kelimpahan sumberdaya, melainkan racikan unik dari berbagai sumberdaya yang dikuasailah yang terpenting sehingga terbentuk kapabilitas-kapabilitas unik untuk mencipta nilai superior. Bukankah bahan-bahan untuk membuat nasi goreng adalah sama? Tetapi mengapa ada yang laris banget? Kuncinya: Keunikan RACIKAN!


Salam sukses,


Junaedi


Entrepreneur: Meraih Kemenangan di Tengah Cibiran Alam Semesta

Entrepreneur: Meraih Kemenangan di Tengah Cibiran Alam Semesta

Oleh: JOI Ihalauw
Staf Pengajar UPH Business School


Judul ini adalah secuil pesan Claude Hopkins kepada anaknya, yang menggambarkan perjalanannya menjadi seorang sukses. Seorang entrepreneur berani bertindak berbeda, kokoh dalam keyakinan saat melihat peluang, bahkan jika harus melawan arus sekalipun.

Media membeberkan fakta jumlah entrepreneur di Indonesia hanya 400.000 dari jumlah kebutuhan 4,4 juta orang. Kita tersentak. Kalau saja bisa mencapai 2% dari jumlah penduduk, Indonesia pasti lebih maju. Amerika Serikat memiliki entrepreneur 11% dari jumlah penduduknya.

Kao (John J. Kao) menunjukan empat komponen saat menelisik fenomena kewirausahaan: insan kreatif yaitu entrepreneur, tugas kreatif, konteks organisasi, dan tantangan lingkungan sekitar. Tulisan ini hanya sekelumit tentang insan kreatif, yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir strategis seorang entrepreneur pemula.

Harus diakui, tindakan terencana dan serius untuk membentuk entrepreneur pemula Indonesia baru tampak dalam satu dekade terakhir. Beberapa perguruan tinggi menyelenggarakan program studi kewirausahaan. Bank-bank ikut berkiprah melalui progran CSR. Semisal Bank Mandiri, yang telah mendidik 9.900 mahasiswa untuk menjadi entrepreneur, tapi 3.000 saja yang lolos tempaan.

Kao mengatakan, konsep entrepreneurship berarti tindakan cipta-nilai melaui pengenalan peluang-peluang bisnis, pengelolaan kesediaan memikul resiko sepadan dengan peluang itu, serta mahir komunikasi dan manajemen pengerahan sumber daya manusia, finansial, dan material yang diperlukan, sehingga proyek yang dikerjakan membuahkan hasil.

Kao memberi penekakanan pada kemampuan mencipta nilai. Jika nilai untuk pelanggan dipahami sebagai perbandingan atara manfaat dengan biaya, maka sejak dini, entrepreneur harus tahu bahwa manfaat selalu berubah, sebab keinginan (manfaat yang dicari) pembeli di pasar pun dinamis. Jadi, entrepreneur harus cerdik menyikapi kecenderungan keinginan dan mampu mencipta manfaat baru untuk ditawarkan ke pasar.

Berkiprah sebagai entrepreneur mengharuskan ia untuk selalu berpijak pada realitas, menginderai kesenjangan antara manfaat dicari (keinginan) dan manfaat aktual (dalam produk) yang ditawarkan ke pasar. Boleh jadi kesenjangan antara manfaat yang dicari dengan manfaat aktual itu pada awalnya secercah peluang saja. Waktu jualah yang menjawab apakah kelak secercah peluang itu sesungguhnya sesuatu yang besar dan menguntungkan.

Mejalani waktu inilah yang sering membimbangkan entrepreneur pemula. Keraguannya diperbesar oleh rasa takut rugi, tidak punya cukup modal untuk bisa bertahan lebih lama, usia beranjak naik sedangkan hasil belum kelihatan, tidak berpengalaman, dan persaingan ketat. Ada juga mitos bahwa kelompok etnis tertentu saja yang bisa menjadi entrepreneur.

Sejatinya untuk menjadi entrepreneur, seseorang harus bertindah, bertindak, dan terus bertindak untuk menciptakan nilai! Hal ini dikukuhkan oleh hasil penelitian Shefsky pada 1994 terhadap 200 entrepreneur, sehingga ia menyimpulkan: entrepreneur are made, not born!

Kemampuan berpikir strategis adalah salah satu modal entrepreneur pemula. Ohmae (Kenichi Ohmae) menunjukan 3R penting dari seni pikir strategik: Pertama, Reality; entrepreneur harus membiasakan menjelajah lanskap abad ke-21, mengamati kenyataan dan kecendurangan pasar, industri dan lingkungan makro. Mereka perlu peka terhadap tantangan dari perubahan yang sedang terjadi.

Coba kita simak, Etnis Tionghoa secara budaya terbiasa memandang tantangan atau krisis (wei cie) sebagai ancaman (wei sien) sekaligus peluang (cie hue). Ketika dihadapkan dengan wei cie, secara simultan wei sien dan cie hue. Dunia belum kiamat, ada kesempatan! Ini kemampuan berpikir kreatif memandang setiap ancaman sebagai peluang yang tertunda; memuntir ancaman menjadi peluang baru.

Kedua, Ripeness atau timing, tepat saat dalam mengidentifikasi dan menggarap peluang. Tidah heran jika kita sering mendengar bahwa opportunity never knocks twice, atau "dia hoki banget". Bukan tanpa dasar ketika Ries dan Trout mengatakan bahwa timing adalah Himalaya-nya strategi. Jadi, entrepreneur pemula perlu mengasah diri dalam mengenali dan menggunakan strategic window, yaitu limited periods during which the fit between the requirements oh the firm is at an optimum.

Yang terakhir, Resources. Entrepreneur pemula harus mampu mengerahkan sumberdayanya yang terbatas untuk menciptakan nilai. Sering kita terjebak dalam kebiasaan berpikir bahwa kelimpahan sumberdayalah yang paling penting. Fakta menunjukan, bukan kelimpahan sumberdaya, melainkan racikan unik dari berbagai sumberdaya yang dikuasailah yang terpenting sehingga terbentuk kapabilitas-kapabilitas unik untuk mencipta nilai superior. Bukankah bahan-bahan untuk membuat nasi goreng adalah sama? Tetapi mengapa ada yang laris banget? Kuncinya: Keunikan RACIKAN!


Salam sukses,


Junaedi


Entrepreneur: Meraih Kemenangan di Tengah Cibiran Alam Semesta

Entrepreneur: Meraih Kemenangan di Tengah Cibiran Alam Semesta

Oleh: JOI Ihalauw
Staf Pengajar UPH Business School


Judul ini adalah secuil pesan Claude Hopkins kepada anaknya, yang menggambarkan perjalanannya menjadi seorang sukses. Seorang entrepreneur berani bertindak berbeda, kokoh dalam keyakinan saat melihat peluang, bahkan jika harus melawan arus sekalipun.

Media membeberkan fakta jumlah entrepreneur di Indonesia hanya 400.000 dari jumlah kebutuhan 4,4 juta orang. Kita tersentak. Kalau saja bisa mencapai 2% dari jumlah penduduk, Indonesia pasti lebih maju. Amerika Serikat memiliki entrepreneur 11% dari jumlah penduduknya.

Kao (John J. Kao) menunjukan empat komponen saat menelisik fenomena kewirausahaan: insan kreatif yaitu entrepreneur, tugas kreatif, konteks organisasi, dan tantangan lingkungan sekitar. Tulisan ini hanya sekelumit tentang insan kreatif, yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir strategis seorang entrepreneur pemula.

Harus diakui, tindakan terencana dan serius untuk membentuk entrepreneur pemula Indonesia baru tampak dalam satu dekade terakhir. Beberapa perguruan tinggi menyelenggarakan program studi kewirausahaan. Bank-bank ikut berkiprah melalui progran CSR. Semisal Bank Mandiri, yang telah mendidik 9.900 mahasiswa untuk menjadi entrepreneur, tapi 3.000 saja yang lolos tempaan.

Kao mengatakan, konsep entrepreneurship berarti tindakan cipta-nilai melaui pengenalan peluang-peluang bisnis, pengelolaan kesediaan memikul resiko sepadan dengan peluang itu, serta mahir komunikasi dan manajemen pengerahan sumber daya manusia, finansial, dan material yang diperlukan, sehingga proyek yang dikerjakan membuahkan hasil.

Kao memberi penekakanan pada kemampuan mencipta nilai. Jika nilai untuk pelanggan dipahami sebagai perbandingan atara manfaat dengan biaya, maka sejak dini, entrepreneur harus tahu bahwa manfaat selalu berubah, sebab keinginan (manfaat yang dicari) pembeli di pasar pun dinamis. Jadi, entrepreneur harus cerdik menyikapi kecenderungan keinginan dan mampu mencipta manfaat baru untuk ditawarkan ke pasar.

Berkiprah sebagai entrepreneur mengharuskan ia untuk selalu berpijak pada realitas, menginderai kesenjangan antara manfaat dicari (keinginan) dan manfaat aktual (dalam produk) yang ditawarkan ke pasar. Boleh jadi kesenjangan antara manfaat yang dicari dengan manfaat aktual itu pada awalnya secercah peluang saja. Waktu jualah yang menjawab apakah kelak secercah peluang itu sesungguhnya sesuatu yang besar dan menguntungkan.

Mejalani waktu inilah yang sering membimbangkan entrepreneur pemula. Keraguannya diperbesar oleh rasa takut rugi, tidak punya cukup modal untuk bisa bertahan lebih lama, usia beranjak naik sedangkan hasil belum kelihatan, tidak berpengalaman, dan persaingan ketat. Ada juga mitos bahwa kelompok etnis tertentu saja yang bisa menjadi entrepreneur.

Sejatinya untuk menjadi entrepreneur, seseorang harus bertindah, bertindak, dan terus bertindak untuk menciptakan nilai! Hal ini dikukuhkan oleh hasil penelitian Shefsky pada 1994 terhadap 200 entrepreneur, sehingga ia menyimpulkan: entrepreneur are made, not born!

Kemampuan berpikir strategis adalah salah satu modal entrepreneur pemula. Ohmae (Kenichi Ohmae) menunjukan 3R penting dari seni pikir strategik: Pertama, Reality; entrepreneur harus membiasakan menjelajah lanskap abad ke-21, mengamati kenyataan dan kecendurangan pasar, industri dan lingkungan makro. Mereka perlu peka terhadap tantangan dari perubahan yang sedang terjadi.

Coba kita simak, Etnis Tionghoa secara budaya terbiasa memandang tantangan atau krisis (wei cie) sebagai ancaman (wei sien) sekaligus peluang (cie hue). Ketika dihadapkan dengan wei cie, secara simultan wei sien dan cie hue. Dunia belum kiamat, ada kesempatan! Ini kemampuan berpikir kreatif memandang setiap ancaman sebagai peluang yang tertunda; memuntir ancaman menjadi peluang baru.

Kedua, Ripeness atau timing, tepat saat dalam mengidentifikasi dan menggarap peluang. Tidah heran jika kita sering mendengar bahwa opportunity never knocks twice, atau "dia hoki banget". Bukan tanpa dasar ketika Ries dan Trout mengatakan bahwa timing adalah Himalaya-nya strategi. Jadi, entrepreneur pemula perlu mengasah diri dalam mengenali dan menggunakan strategic window, yaitu limited periods during which the fit between the requirements oh the firm is at an optimum.

Yang terakhir, Resources. Entrepreneur pemula harus mampu mengerahkan sumberdayanya yang terbatas untuk menciptakan nilai. Sering kita terjebak dalam kebiasaan berpikir bahwa kelimpahan sumberdayalah yang paling penting. Fakta menunjukan, bukan kelimpahan sumberdaya, melainkan racikan unik dari berbagai sumberdaya yang dikuasailah yang terpenting sehingga terbentuk kapabilitas-kapabilitas unik untuk mencipta nilai superior. Bukankah bahan-bahan untuk membuat nasi goreng adalah sama? Tetapi mengapa ada yang laris banget? Kuncinya: Keunikan RACIKAN!


Salam sukses,


Junaedi